CERPEN

 KENANGAN DI SUMUR BIDADARI 

Karya: Firyaal Qanitah 


Jendela kayu yang terbuka mempersilakan angin masuk, mengibaskan rambut Rein yang ikal. Rein menghirup dalam-dalam aroma pagi yang membuatnya sedikit lebih tenang. Tetapi dari kejauhan, Rein merasa terkejut melihat sosok lelaki tampan dari jendela kamar yang mendekati rumahnya. Dengan rasa penasaran, Rein keluar kamar lalu menyambut kedatangan lelaki itu di depan pintu rumahnya. Semakin lelaki itu mendekat, Rein sangat takjub dan terdiam begitu mengenali sosok lelaki itu. Rein sama sekali tidak menyangka akan kedatangan sahabat masa kecilnya.

 “Ya, itu Brian, sahabat kecilku” ujar Rein dalam hati. 

Ketika kemudian dengan keramahannya, Rein mempersilakan Brian untuk masuk, tanpa ragu-ragu Brian langsung memilih duduk di bawah lantai yang beralaskan tikar pandan. Rein pun lalu turut duduk, dengan pandangan heran menatap Brian yang penampilannya sudah sedikit berbeda. Tidak heran jika penampilan Brian berbeda, Brian sudah tinggal di kota hampir satu tahun lamanya.

“Rein!” panggil Brian sambil melambaikan tangannya tepat di hadapan Rein yang terdiam heran menatapnya. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Brian menatap Rein.

“Ohh..iya iya” jawab Rein kaget. “Jadi, apa yang membawamu kemari?”

“Kenangan”

“Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu berbula-bulan untuk mengunjungiku.

Brian tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara mereka sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti anak panah yang dilepaskan. 

Mereka kembali bertemu, mau tidak mau mengingatkan pada pengalaman mereka terdahulu. Walau tidak setiap waktu, selalu lekat diingatan Brian. Tentu Rein mengingatnya pula, bahkan Brian yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, Rein jelas jauh lebih tulus dan setia daripada Brian.

“Emmm… hari itu kamu membuat semua orang khawatir” Ucap Rein kesal.

Sore itu Brian berada di rumah Rein, mereka belajar di bawah pohon dengan beralaskan tikar pandan ditemani setoples kerupuk udang yang dibuat oleh Ibu Rein. Di atas teras, Ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pematik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang suka tertawa, berada di sudut sembari menggoreng kerupuk udang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang berlalu di antara mereka, hampir setiap saat Brian menikmati momen itu. Momen seperti itulah yang membuat Brian semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarga Rein.

Selesai belajar, Rein menyuruh Brian untuk pulang karena hendak mengambil air di sumur. Tetapi Brian hendak ingin ikut dan membantu Rein. Rein merasa keberatan. Ayah dan ibunyapun melarang. 

Mengambil air di sumur adalah tugas Rein setiap sore, sumur itu adalalah sumber air masyarakat setempat. Sumur yang sedikit jauh dari perkampungan. Sumur itu adalah mata air dari penggunungan yang dibuat dengan batu-batu kecil sebanyak 99 buah batu. Sumur itu tidak seperti sumur pada umumnya, dulunya sumur itu adalah tempat dimana turunnya bidadari. Sejarahnya ada satu bidadari yang slendangnya hilang diambil oleh seorang pria keturunan kerajaan yang sedang memburu rusa hingga bidadari yang diambil slendangnya pun tidak bisa kembali ke kayangan. Seorang pria dari kerajaan itu pun membawa seorang bidadari ke istana untuk dinikahinya. Tidak lama setelah menikah bidadari menemukan slendangnya di bawah karung padi dan konon sejak itulah bidadari tidak turun lagi di sumur itu dan masyarakat setempat memberinya nama dengan sumur bidadari, hingga sekarang sumur itu dikenal dengan tempat yang sakral oleh masyarakat setempat. Tentu saja Ayah Brian tidak pernah membolehkan Brian untuk membantu Rein mengambil air di sumur tersebut. Tetapi sore itu Brian nekat dan Rein akhirnya tidak kuasa menolak.

“Tidak membuka sepatu?” Tanya Rein heran begitu dia memimpin untuk berangkat. 

Brian masih mengenakan sepatu dan menggunakan seragam sekolahnya pada sore itu. Jalan untuk ke sumur itu sedikit licin dan menanjak, Rein takut akan sepatu mahal Brian rusak dan kotor. Rein tau jika sepatu Brian rusak pasti Brian akan dimarahi oleh Ayahnya.

“Tanggung, saya akan berhati-hati kamu tenang saja” jawab Brian santai.

Brian dengan semangatnya mengambil dua ember dari tangan Rein, Brian berjalaan cepat tidak sabar ingin melihat sumur yang sejak lama belum pernah dia lihat, sedangkan Rein berjalan dengan sangat hati-hati. Sesekali Rein memperingati Brian agar berhati-hati, tetapi Brian tidak mendengarkan Rein dan terus berjalan dengan semangat. Dari kejauhan terlihat susunan batu yang sangat rapi dan pepohonan tinggi dengan suara kicauan burung ditambah angin bersiuran yang memberikan sensasi aneh. Brian yang semangat selama di perjalanan tiba-tiba merasa merinding, tetapi Brian merasa gengsi tidak mau memperlihatkan rasa takutnya itu di hadapan Rein.

Setelah mereka sampai di sumur tersebut, Brian hanya terdiam takut melihat suasana tempat di sumur itu. 

“Mengapa kamu terdiam ?” Tanya Rein.

“Tidak, saya hanya menikmati suasana alamnya saja” jawab Brian sombong.

Ketika ke dua ember itu sudah diisi air dengan penuh oleh Rein mereka bergegas untuk pulang dengan satu ember di tenteng oleh masing-masing mereka. Sembari ingin pulang Brian merasa tertarik untuk mengambil dari salah satu batu yang disusun rapi tersebut, tanpa sepengetahuan Rein yang lebih dulu berjalan, Brian mengambil satu dari sembilan puluh sembilan batu tersebut lalu bergegas berjalan di belakang Rein. Brian merasa senang bisa mendapatkan batu itu untuk di simpan sebagai tambahan barang koleksinya. Hanya saja Brian masih merasakan suasana merinding seperti di tempat sumur tadi, tetapi Brian tetap berjalan dibelakang Rein dengan melawan rasa takutnya itu.

Rasanya sudah lama berjalan mereka sampai juga di rumah Rein, Brian merasa lelah dan langsung bersandar di bawah pohon yang sejuk. Brian merasa malu dengan seorang wanita seperti Rein yang mampu menenteng dua ember sekaligus setiap harinya, Brian menatap Rein salut. 

Saat itu hari mulai malam, Brian bergegas untuk pulang dan berpamitan kepada Rein.

“Rein, sepertinya akan gelap dan saya harus segera pulang. Salamkan saya pada Ibu dan Ayahmu.” Ucap Brian berpamitan.

“Baiklah, akan saya sampaikan salammu, berhati-hatilah.” Ucap Rein menatap kepergian Brian.

Tidak lama Brian berjalan, Rein merasa kaget karena melihat Brian terjatuh dan pingsan. Lalu Rein berteriak meminta pertolongan Ayahnya yang sedang bersiap-siap untuk ke masjid, Ayah Rein langsung bergerak menghampiri Brian yang sudah tidak berdaya itu. lalu diangkatnya Brian di bawah masuk ke dalam rumah untuk disadarkan. Rein merasa bersalah telah mengijinkan Brian membantu dirinya mengambil air di sumur sore tadi. Rein memberikan minyak angin pada hidung Brian dan mata Brianpun sedikit terbuka dan melemas. Ibu Rein membuatkan air gula hangat untuk Brian, sedangkan Ayah Rein yang tadinya ingin ke masjid akhirnya hanya sholat di rumah saja karena khawatir terhadap keadaan Brian.

Ketika akhirnya Brian diberikan air gula hangat oleh Ibu Rein agar sedikit lebih baik, tidak sengaja Ibu Rein memegang kening Brian yang terasa sangat panas. Setelah Ayah Rein selesai sholat, lalu dibacakannya Ayat Kursi di hadapan Brian, Ayah Rein merasa bahwa Brian kesambet karena ia baru merasakan pergi ke tempat yang sakral seperti itu. 

Malam semakin larut Brian merasa lebih baik, hanya saja badannya masih terasa panas, lalu Brian menceritakan akan hal batu yang diambilnya tadi di sumur kepada Ayah Rein. Ayah Rein kaget dan sedikit marah kepada Brian.

“Kenapa kau memberanikan diri mengambil batu yang ada di sana Brian?!”

Brian terdiam sembari mengambil batu yang disimpannya di dalam kantong celana seragam yang masih dia kenakannya, lalu di berikannya pada Ayah Rein. Pantas saja Brian kesambet, Brian telah melakukan niat jahat dengan membawa salah satu batu yang ada di sana. Konon pamali jika masyarakat mengambil batu yang sudah tersusun rapih sembilan puluh sembilan batu disana, masyarakat tersebut akan merasakan demam tinggi dan tidak akan sembuh hingga batu yang diambilnya itu segera dikembalikan ketempat awalnya. 

Pada malam itu juga Ayah Rein pergi membawa kembali sebuah batu itu ke tempat awalnya, bersama-sama Ayah Brian yang baru saja sampai untuk menjeput Brian. Sebelum mengunjungi sumur itu Ayah Rein memberikan ketenangan pada Ayah Brian yang sudah sangat cemas dengan kondisi Brian. Lalu mereka berduapun bergegas ke sumur itu untuk mengembalikan batu yang diambil oleh Brian tersebut.

Rasanya tidak perlu berlama-lama berada di sumur itu keduanya langsung kembali pulang setelah mengembalikan batu itu ketempatnya semula. Sesampai mereka di rumah, Brian yang masih berbaring dengan badan yang masih panas langsung di marahi oleh ayahnya  hingga keluarga Reinpun terdiam. Sejak kejadian itu tidak pernah terlintas lagi dalam pikiran brian untuk mengambil atau menyentuh sesuatu di tempat sakral manapun itu.

“Saya sangat menyesal memberanikan diri mengambil batu yang ada di sumur sejak itu” kata Brian lesuh setelah mereka selesai mengingat kejadian itu.

”Membiarkanmu pergi saja sebuah kesalahan bagi saya, melihat Ayahmu marah seperti sejak itu saya kapok mengijinkanmu lagi untuk membantu saya” jawab Rein kesel. 

Brian tertawa  menggoda Rein dengan permintaan maafnya. Lalu Rein tersenyum dan merekapun tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi hubungan kekeluargaan mereka.

Reinpun mengajak Brian duduk dibawah pohon beralaskan tikar pandan, di mana tempat mereka pernah bersama-sama untuk belajar. Tidak lama mereka duduk, Ayah dan Ibu Rein pulang dari kebun yang hanya membawa sesisir pisang saja. Lalu Brian menghampiri terlebih dahulu Ayah dan Ibu Rein untuk bersalaman.

“Ada gerangan apa yang membawamu kesini?” Tanya Ayah Rein sembari membuka putung rokok.

“Tidak lain tidak bukan saya ingin menjadikan Rein sahabat sehidup dan semati saya” jawab Brian dengan serius sembari memberikan senyuman manis kepada Ayah Rein.

Pernyataan Brian kali ini membuat wajah Rein sedikit memerah dan kedua tangan Rein menjadi dingin dengan jantungnya berdenut kencang hingga tak terkontrol. Tanpa ragu Ayah Rein menerima lamaran Brian karena Ayah Rein juga tau bagaimana anaknya begitu mengagumi Brian.

Ternyata rentetan kejadian kisah persahabatan mereka adalah pengabdi kehidupan mereka berdua hingga mereka menjadi sepasang suami istri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMALIQ RANGET

"Kemaliq Ranget" tempat yang sakral di budaya Sasak